Hal- hal Kecil Perekat Rumah Tangga

Islam bukan sekedar agama yang dibangun hanya pada hal-hal spektakuler, tapi juga oleh ha-hal kecil yang sangat mungkin disepelekan sebagian orang.

Padahal, gejolak api besar seringkali muncul dari percikan-percikaan api saja. Saat Anda menyalakan korek api, Anda tak bisa mengharapkan api yang meluap-luap. Kalaupun itu bisa, Anda sendiri yang akan terkejut dibuatnya. Dari percikan kecil api itulah, Anda bisa menggunakan api sesuai kebutuhan.

Dalam keseharian, banyak hal-hal kecil yang dapat membantu membangun cinta kasih. Ternyata, wanita termasuk pribadi yang nmenyukai suami yang tanggap terhadap hal-hal kecil. Karena detilisasi adalah khas kewanitaan, dan wanita suka hal-hal yang detil, meski terkadang sedikit berlebihan.

Senyuman, termasuk hal-hal kecil yang sering diabaikan, padahal ia mampu membangun sensasi yang tidak kecil. Setiap wanita, sangat respek terhadap senyuman.

Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

“Jangan menganggap remeh kebajikan yang sekecil apapun, meski hanya menjumpai saudaramu dengan wajah yang cerah.”

(Riwayat Muslim dan Ahmad).

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,

“Sesungguhnya senyumanmu di hadapan saudaramu adalah sedekah.” (Riwayat Al-Bazzar dan At-Tirmidzi).

Banyak nwanita yang merasa disepelekan, atau bahkan merasa tersudutkan, bila berjumpa dengan sesama wanita yang tak menyambut pertemuan dengan senyum. “Si fulanah itu makin hari kok makin nyebelin aja, cemberut terus..” ungkap seorang wanita kesal. Kalau terhadap orang lain seorang wanita begitu mudah tersinggung, terhadap sikap suami akan lebih sensitif lagi. Karena kepada si suamilah ia mengharapkan perhatian yang lebih dari orang lain.

Di antara hal lain yang sangat dirasakan oleh wanita adalah komunikasi hati. Yang saya maksud dengan komunikasi hati yaitu hubungan yang terjalin antara suami istri melalui sikap-sikap kecil, juga melalui komuniukasi verbal, visual atau bahkan sekedar komunikasi tulisan dan isyarat, yang dapat mempererat cinta kasih dan keakraban.

Segala sesuatu yang berkaitan dengan perasaan, pikiran maupun tindakan keseharian secara fitrah harus dikomunikasikan. Komunikasi itu bisa melalui bahasa tubuh atau yang lazim disebut dengan body language, atau dengan cara lain yang lebih jelas. Tanpa mengkomunikasikan, masing-masing pasutri tak akan pernah tahu apa yang telah dan akan dilakukan serta apa yang dibutuhkan. Bila kebutuhan terabaikan, mana mungkin akan tercipta romantisme. Segala hal akan dikenang sebagai memori yang indah, bila dilakukan secara tulus. Ketulusan hanya akan muncul, bila ada budaya saling pengertian. Dengan itu, kebutuhan masing-masing akan diperhatikan oleh pasangannya.

Aplikasinya, bisa sangat beragam, apalagi di era modern seperti sekarang ini. Saat usai bepergian, cobalah agak sering mengirimkan SMS, pesan singkat, meski hanya sekedar menanyakan, “Apa kabar?” “sudah makan belum?” ”Bagaimana anak-anak?” “Sabar ya, abi gak lama-lama kok,” dan sejenisnya. Bila perlu, sesekali menelepon. Jangan merasa terusik, hanya karena istri sesekali mengirimkan pesan singkat melalui HP. Itu justru semangat bagus untuk membangun romantisme.

Kurangnya mengkomunikasikan perasaan, keinginan dan kebutuhan terhadap pasangan, akhirnya membuat buntu komunikasi hati. Artinya, masing-masing menjadi semakin sulit menebak perasaan pasangannya. Inilah rahasia di balik kecenderungan kebanyakan pasutri yang semakin hari semakin tak mampu membaca perasaan pasangannya. Kalaupun tertangkap maksudnya, lebih sering tidak diperdulikan, sehingga hasilnya sama-sama buntu. Pasangan suami istri yang hidup dengan kemiskinan komunikasi itu, dapat dipastikan akan mengalami kebekuan hati, kelesuan jiwa dan ketidaktenteraman. Sifat curiga, cemburu, hingga kekecewaan dan penyesalan, akan mudah tumbuh sedemikian subur, dalam suasana seperti itu. Saling ketidakpercayaan juga akan meningkat tajam, dan ujung-ujngnya akan berakhir dengan perceraian.

Di awal-awal perkawinan, banyak suami yang terbiasa mengungkap cinta lewat sms, atau melakukan kejutan dengan memberi sekuntum bunga, atau hadiah khusus. Kebiasaan seperti itu sebenarnya bisa dilanjutkan, meski dengan tingkat frekuensi yang tidak lagi sama. Surprise dengan memberikan hadiah atau oleh-oleh unik, mudah dikenang oleh istri, meski tidak mahal, akan sangat berguna membangun romantisme. Saat bepergian sebentar, bila ada rezeki, belikan makanan kesukaan istri. Mungkin makanan khas daerah kelahirannya, atau bisa juga makanan ringan penggugah selera, buah-buahan dan sejenisnya. Bila pulang dari luar kota, coba belikan makanan khas daerah tujuan untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Sehingga, kalaupun si istri tidak ikut bepergian atau keluar rumah, ia bisa turut merasakan sebagian dari kelezatan makanan luar kota dan sejenisnya.

Jangan beri kejutan yang tak biasa dilakukan, bila tak ingin mendulang bencana. Sesuatu hal yang tidak biasa dikerjakan, justru seringkali menimbulkan salah persepsi dan kecurigaan. Misalnya, membelikan si istri barang “mahal” secara tiba-tiba, tanpa si istri tahu dari mana datangnya uang sebanyak itu, untuk membeli hadiah tersebut. Sebagian suami kadang tak memedulikan atau bahkan tak pernah memperhitungkan sama sekali, bahwa si istri akan bertanya tentang asal muasal uang tersebut. Bahkan ia berhak untuk melarang istri mempertanyakan hal itu, dan menyatakan bahwa si istri tak berhak sama sekali untuk sekedar menanyakannya. Bila seorang istri mempertanyakannya, itu dianggap tak patut sama sekali. Semua anggapan itu keliru belaka. Meski mempertanyakannya bukanlah keharusan, namun ia bukan dilarang sama sekali, kecuali bila pertanyaan itu dibangun atas dasar kecurigaan dan buruk sangka semata.

Selain itu, jangan usik romantisme pasutri dengan datang secara tiba-tiba di waktu malam, usai bepergian.

“Kalau engkau pulang dari bepergian di malam hari, jangan masuk rumah sampai istrimu mencukur bulu kemaluannya dan bersisir dengan rapi.” (Muttafaq Alaih)

Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Sampai istrinya itu siap menemui dengan menyisir rambutnya.”

Sungguh aneh, suami istri yang hidup serumah, menjalin cinta kasih dan kehidupan bersama selama bertahun-tahun, namun jarang makan bersama dengan istri dan anak-anaknya, apalagi dalam satu piring untuk bersama. Bisa dibayangkan, bagaimana suasana hidup keluarga seperti itu. Sungguh jauh dari romantisme. Bagaimana cinta kasih mereka akan berkembang menjadi keterpaduan yang utuh dan lestari? Wallahu a’lam.

Diketik ulang oleh Ummu Hilmy dari  Majalah Nikah vol.7, Rubrik Bina Pasutri, Penulis Ust. Abu Umar Basyir

Tinggalkan komentar